Kearifan Lokal dalam Proses Eksploitasi Sumeberdaya Perikanan di
Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tengga Timur
Oleh :
Aludin Al Ayubi, S.Pi
Pendahuluan
Sumberdaya alam
pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa
sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung
tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Konsekuensi logis dari
sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common
property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan
sumberdaya alam pesisir dan laut dewasa ini semakin meningkat di hampir semua
wilayah (Afiati 1999).
Seiring dengan
meningkatnya usaha penangkapan dalam memenuhi kebutuhan pangan baik bagi
masyarakat di sekitarnya maupun terhadap permintaan pasar antar pulau dalam
negeri dan luar negeri, Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan
eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya,
dan ekstraksi bahanbahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang
kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama
jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi
sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar.
Menurut DKP
Lembata (2002), bahwa berbagai fenomena kerusakan lingkungan pesisir di
Kabupaten Lembata bukan saja disebabkan oleh kegiatan pembangunan, tetapi
seringkali juga diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena terpaksa
(ketiadaan alternatif mata pencaharian) harus mengeksploitasi sumberdaya alam
pesisir dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, yang secara ekologis
sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat
dari kurangnya supermasi hukum (termasuk hukum adat) dan semakin pudarnya
bahkan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang sebelumnya berlaku
menjadi norma, etika dan moral yang mengatur pranata kehidupan dan menuntun
manusia untuk perpikir dan berperilaku secara baik dan bertanggung jawab dalam
relasi komunitas ekologis (Bapeda Lembata , 2001).
Beberapa sistem
tradisional masih cukup banyak yang bertahan dan terus dipraktekkan oleh
sekelompok anggota masyarakat walaupun terdapat tekanan dari konfigurasi sistem
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan modern. Di sisi lain, terdapat
pengakuan bahwa eksistensi hukum adat di Indonesia terutama yang berkaitan
dengan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dapat merupakan
modal nasional yang memiliki nilai strategis dan penting dalam menunjang
pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan
(Soekamto,2002). Oleh karena itu dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai
pengganti UU No. 09 Tahun 1985 yang ditelah disahkan oleh DPR RI tanggal 14
September 2004 dalam pasal 6 ayat (2) berbunyi : Pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum
adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran-serta masyarakat. Dengan demikian maka Pemberdayaan
Kearifan Lokal dalam Proses Eksploitasi Sumeberdaya Alam Perikanan di Kecamatan
Omesuri Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tengga Timur menjadi esensial untuk
dilakukan demi kepentingan pengelolaan
yang akan datang.
Potensi Kearifan Lokal di Kecamatan
Omesuri Kabupaten Lembata
Masyarakat
pesisir Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata memiliki potensi dan kekayaan
kearifan lokal yang cukup banyak. Kearifan tersebut dianut sebagai suatu bentuk
peradaban dan sistem nilai serta perantara berkaitan dengan usaha pemanfaatan
dan konservasi sumberdaya alam laut dan pesisir. Kekayaan kearifan lokal/tradsi
tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam
lingkungannya.
Kearifan Lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Soekamto (2002),
mengatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan kearifan lokal yang
menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat
positif untuk pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian maka kearifan lokal bukan hanya menyangkut
pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi
yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman
dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua
penghuni komunitas ekologi.
Kearifan Pemanfaatan Sumberdaya Laut dan Pesisir di
Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata.
·
Kearifan Lokal Masyarakat
Pesisir di Desa Wailolong
Desa Wailolong
merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki kearifan
atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di
desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa
di laut ada penguasanya yang disebut ”hari” dan penguasa di darat yang
disebut ”neda ”. Adanya sistem kepercayaan ini mendorong pemangku adat ”lemaq
” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni upacara
memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan,
budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman
bakau. Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan
sifatnya perorangan, belum merupakan suatu kesepakatan bersama.
Dari informasi
yang diperoleh bahwa hasil-hasil usaha nelayan saat ini mengalami penurunan,
sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut yang sudah hilang seperti
agar-agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi masyarakat desa ini khususnya
masyarakat nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil-hasil laut,
menghendaki agar ritual semacam ini perlu dilakukan secara bersama dan terus
menerus sehingga merupakan aturan atau norma serta tradisi yang mempunyai makna
dapat mengatur tindakan-tindakan manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam
pesirsir dan laut di tempat itu.
·
Kearifan Lokal Masyarakat
Pesisir di Desa Lebewala
Masyarakat
pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata mempunyai tradisi dan
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Dalam
pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat
adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi larangan secara adat
bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas.
Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan
dukundukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan
melakukan ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah
kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan
kembali wilayah perairan tersebut.
Selain Ata
Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa Lebewala
juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa
sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar
senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran
pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah
dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang secara bebas.
REFERENSI
Afiati, N.,
1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Pesisir, Bapedalda, Semarang
Bappeda, 2001, Data
Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Lembata, Kerjasama Badan Pusat Statistik
Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten
Lembata.
Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lembata
Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan Laut, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata.
Ghofar, A.,
2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan,
Cipayung-Bogor.
Soekamto, S.,
2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada, Jakarata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar