Kamis, 20 Maret 2014

STRATEGI-STRATEGI DALAM PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PENCEMARAN PERAIRAN DI WILAYAH PESISIR



STRATEGI-STRATEGI DALAM PENERAPAN
PRINSIP-PRINSIP PENCEMARAN PERAIRAN DI WILAYAH PESISIR

Oleh

Aludin Al Ayubi, S.Pi


Strategi Penerapan Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Menurut Ratnaningsih dan Maria (1996), strategi-strategi yang dilakukan dalam menerapkan prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle)
1.        Pungutan dan Denda terhadap Pencemar
Dalam ilmu keuangan negara pungutan dan denda yang dikenakan terhadap pencemar lingkungan pesisir disebut sebagai “Pigouvian Taxes”. Pungutan dan denda semacam ini dimaksudkan untuk menurunkan tingkat Pencemaran perairan di wilayah pesisir  yang dihasilkan oleh perusahaan atau individu dengan cara menginternalkan biaya lingkungan pesisir yang semula ditanggung oleh masyarakat. Biaya lingkungan yang disebut juga dengan biaya eksternal itu sering berupa menurunnya kualitas lingkungan, timbulnya penyakit dan turunnya produktivitas semua jenis sumber daya baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
2.        Asuransi Kerugian Lingkungan
Asuransi perlindungan lingkungan telah banyak diterapkan untuk industri-industri besar seperti industri perminyakan, pertambangan batubara dan lain-lainnya yang berdasrkan letaknya dapat mempengaruhi atau menyebabkan pencemran lingkungan pesisir. Pada dasarnya perusahaan yang terlibat dalam kegiatan penggalian sumberdaya alam termasuk minyak bumi diwajibkan membeli polis asuransi untuk menjaga kemungkinan rusaknya lingkungan. Dalam hal ini tampaknya belum ada lembaga asuransi di dalam negeri yang berani berkecimpung dalam asuransi lingkungan ini. Hal ini kemungkinan karena masih sulitnya mengukur besarnya dampak kerusakan lingkungan dan menilainya dalam rupiah.
3.        Uang Tanggungan (Deposit)
Bapedalda dapat meminta uang jaminan (deposit) dari para pemrakarsa atau pengusaha yang akan beroperasi atau melakukan kegiatan yang berpotensi merusak atau mencemari lingkungan pesisir. Apabila kegiatan usahanya berhenti dan ternyata kondisi lingkungan masih bagus atau bahkan bertambah baik, maka uang jaminan itu dapat dikembalikan kepada pengusaha yang bersangkutan. Dalam cakupan yang lebih kecil, rumah tangga yang membeli barang konsumsi dapat membayar uang jaminan untuk botol, kaleng, kotak aki, dan sebagainya; yang dapat dikembalikan kepada pabrik atau agen dan mendapatkan kembali uang jaminannya. Dengan cara ini limbah padat tersebut tidak dibuang sembarangan dan tidak akan mencemari lingkungan pesisir yang kemudian berdampak pada pencemaran perairan di wilayah pesisir.
Untuk tingkatan pabrik atau industri pengolahan uang jaminan ini dapat digunakan sebagai alat kontrol agar pemrakarsa atau pengusaha berusaha untuk melaksanakan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) pesisir dengan baik dan mendorong mereka untuk sudi membangun Unit Pengolah Limbah Cair (water treatment plant), membuang sampah di tempat pembuangan sampah dan mengolahnya menjadi kompos ataupun dapat membuat pengolahan limbah bersama (public water treatment plant) untuk industri pengolahan maupun untuk para pengembang perumahan.
4.        Penentuan Harga Sumberdaya di Wilayah Pesisir
Sumberdaya di wilayah pesisir  merupakan anugerah Tuhan, sehingga tidak perlu dilakukan pembayaran bagi siapa saja yang memanfaatkannya. Konsep ini telah mengakibatkan adanya pengambilan secara berlebihan dan tidak ada biaya untuk mengadakan perbaikan atau pemeliharaan sumberdaya alam tersebut. Karena itu konsep insentif ekonomi perlu diterapkan di sini, yaitu menentukan harga sumberdaya di wilayah pesisir  dan mengharuskan siapa saja yang mengambil dan memanfaatkannya untuk melakukan pembayaran.
Harga atau nilai sumberdaya di wilayah pesisir  yang masih ada di dalam bumi atau di atas bumi dapat ditentukan; misalnya dengan konsep rente ekonomi. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah akan memiliki sumber dana tambahan untuk pengelolaan lingkungan. Tampaknya sistem pungutan atau retribusi dalam pengambilan sumberdaya di wilayah pesisir  untuk pasir, batu karang, batu kapur, air dan sebagainya telah diterapkan di Indonesia; tetapi penentuan nilainya masih dirasa belum tepat dan masih terlalu murah, sehingga masih cenderung mendorong terjadinya deplisi sumberdaya di wilayah pesisir.
5.        Dana Internasional
Negara-negara maju menyadari bahwa konsep lingkungan di wilayah pesisir  ini tidak mengenal batas, sehingga memburuknya kondisi lingkungan di wilayah pesisir di suatu daerah atau suatu negara akan mempunyai dampak yang negatif pula bagi negara-negara lain. turut menderita karena asap tebal yang menutupi kota Singapura dan Kuala lumpur. Oleh karena itu negara-negara maju telah menyisihkan sebagian dari anggaran belanjanya untuk membentuk dana lingkungan global yang disebut dengan Global Environmental Fund (GEF). GEF ini berkedudukan di Geneva. Di samping itu banyak negara-negara maju yang bersedia membantu negara-negara sedang berkembang untuk memperbaiki kondisi lingkungannya, seperti Norwegia, Perancis, Jerman, Jepang dan Australia telah lama memberikan bantuan perbaikan dan pengelolaan lingkungan dalam bentuk bantuan tenaga ahli (technical assistance) maupun bekerja sama dalam pelaksanaan dan pembiayaannya.Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia juga telah memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman yang tidak sedikit dalam rangka perbaikan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia.

Strategi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle)

Ellis and Alison (2004) menyatakan bahwa, dalam menerapkan prinsip kehati-hatian maka strategi yang harus ditempuh adalah sebagai berikut :
1.        Perolehan bukti Ilmiah
Yaitu dengan mecari informasi-informasi yang akurat berkaitan dengan pencemaran lingkungan perairan pesisir. Pencarian informasi tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan penelitian, riset-riset tertentu untuk mengetahui apakah kondisi perairan pesisir tersebut benar-benar tercemar atau tidak. Apabila tercemar maka perlu di cari tahu lagi kira-kira apa faktor penyebabnya, apakah tumpahan minyak atau buangan limbah. Jika telah di ketahui faktor penyebabnya seperti tumpahan minyak atau buangan limbah maka perlu diperoleh lagi informasi kira-kira siapa yang melakukan.
2.        Mealakukan risk assessment (Penilaian Resiko)
Yaitu mealakukan analisis mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran perairanpesisir tersebut, apakah tingkat pencemarannya berat atau ringan. Apabila sudah diketahui tingat pencemarannya maka perlu lagi di cari tahu apakah melanggar ketentuan peraturan dan kesepakatan yang berlaku atau tidak.
3.        Pembatasan bahan pencemar
Yaitu memberi batasan bagi individu atau perusahan-perusahan mengenaikegiatan - kegiatan tertentu yang dapat menyebabkan pencemaran perairan pesisir berdasarkan ketentuan yang berlaku.
4.        Tindakan Hukum
Tindakan ini dilakukan apabila pelaku penyebab pencemaran perairan pesisir tersebut tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Selain itu tindakan ini juga dapat diberikan kepada para pelanggar atas ketentuan atau peraturan yang telah di tetapkan oleh suatu daerah tertentu.



Referensi


Afiati, N. 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang.

Ambrose K. A. 2000.  “Part II : Review of Key Substantive Agreements Panel II D : Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) and Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), Law and Policy in International Business, Spring,Vol. 31.

Dahuri R. 1996. Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor.

. 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Delinom R.M dan  Lubis R.F. 2007. Sumber daya air di wilayah peisisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Hal1-25.

Ellis J., Alison F. G. 2004, “The Precautionary Principle in International Law : Lessons from Fuller’s Internal Morality,” MCGill Law Journal.

Idris I. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu di Indonesia. Prosiding Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo.  Hal1-9.

Jeffrey A. Mc Neely, 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati, Jakarta: Yayasan Obot Indonesia.

Marong A. B.M. 2003, “ From Rio to Johannesburg : Reflection on the Role of International Legal Norms in Sustainable Development “, Georgetown International Environmental Law Review, Fall.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta: Pradnya Paramita. 322 hal.

Ratnaningsih, Maria. 1996. “Determination of Pollution Change and Its Impact on the Textile Industry in Indonesia”, Master Thesis, Bangkok: Thammasat University.

Satria, Arif 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. 176 hal.

Suparmoko, M dan Maria R. Suparmoko, 2000. Ekonomi Lingkungan, Yogyakarta: BPFE.

Supriharyono. 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan, Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar