STRATEGI-STRATEGI
DALAM PENERAPAN
PRINSIP-PRINSIP
PENCEMARAN PERAIRAN DI WILAYAH PESISIR
Oleh
Aludin Al Ayubi,
S.Pi
Strategi
Penerapan Prinsip Pencemar Membayar (Polluter
Pays Principle)
Menurut Ratnaningsih dan Maria (1996), strategi-strategi
yang dilakukan dalam menerapkan prinsip pencemar membayar (Polluter Pays
Principle)
1.
Pungutan dan Denda terhadap Pencemar
Dalam
ilmu keuangan negara pungutan dan denda yang dikenakan terhadap pencemar
lingkungan pesisir disebut sebagai “Pigouvian Taxes”. Pungutan dan denda
semacam ini dimaksudkan untuk menurunkan tingkat Pencemaran perairan di wilayah
pesisir yang dihasilkan oleh perusahaan
atau individu dengan cara menginternalkan biaya lingkungan pesisir yang semula
ditanggung oleh masyarakat. Biaya lingkungan yang disebut juga dengan biaya
eksternal itu sering berupa menurunnya kualitas lingkungan, timbulnya penyakit
dan turunnya produktivitas semua jenis sumber daya baik itu sumber daya alam
maupun sumber daya manusia.
2.
Asuransi Kerugian Lingkungan
Asuransi perlindungan lingkungan telah banyak
diterapkan untuk industri-industri besar seperti industri perminyakan,
pertambangan batubara dan lain-lainnya yang berdasrkan letaknya dapat
mempengaruhi atau menyebabkan pencemran lingkungan pesisir. Pada dasarnya
perusahaan yang terlibat dalam kegiatan penggalian sumberdaya alam termasuk
minyak bumi diwajibkan membeli polis asuransi untuk menjaga kemungkinan
rusaknya lingkungan. Dalam hal ini tampaknya belum ada lembaga asuransi di
dalam negeri yang berani berkecimpung dalam asuransi lingkungan ini. Hal ini
kemungkinan karena masih sulitnya mengukur besarnya dampak kerusakan lingkungan
dan menilainya dalam rupiah.
3.
Uang Tanggungan (Deposit)
Bapedalda
dapat meminta uang jaminan (deposit) dari para pemrakarsa atau pengusaha yang
akan beroperasi atau melakukan kegiatan yang berpotensi merusak atau mencemari
lingkungan pesisir. Apabila kegiatan usahanya berhenti dan ternyata kondisi
lingkungan masih bagus atau bahkan bertambah baik, maka uang jaminan itu dapat
dikembalikan kepada pengusaha yang bersangkutan. Dalam cakupan yang lebih
kecil, rumah tangga yang membeli barang konsumsi dapat membayar uang jaminan
untuk botol, kaleng, kotak aki, dan sebagainya; yang dapat dikembalikan kepada
pabrik atau agen dan mendapatkan kembali uang jaminannya. Dengan cara ini
limbah padat tersebut tidak dibuang sembarangan
dan tidak akan mencemari lingkungan pesisir yang kemudian berdampak pada
pencemaran perairan di wilayah pesisir.
Untuk tingkatan pabrik atau industri
pengolahan uang jaminan ini dapat digunakan sebagai alat kontrol agar pemrakarsa
atau pengusaha berusaha untuk melaksanakan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) pesisir dengan baik dan mendorong
mereka untuk sudi membangun Unit Pengolah Limbah Cair (water treatment plant),
membuang sampah di tempat pembuangan sampah dan mengolahnya menjadi kompos
ataupun dapat membuat pengolahan limbah bersama (public water treatment
plant) untuk industri pengolahan maupun untuk para pengembang perumahan.
4.
Penentuan Harga Sumberdaya di Wilayah Pesisir
Sumberdaya di wilayah pesisir merupakan anugerah Tuhan, sehingga tidak perlu
dilakukan pembayaran bagi siapa saja yang memanfaatkannya. Konsep ini telah
mengakibatkan adanya pengambilan secara berlebihan dan tidak ada biaya untuk
mengadakan perbaikan atau pemeliharaan sumberdaya alam tersebut. Karena itu
konsep insentif ekonomi perlu diterapkan di sini, yaitu menentukan harga
sumberdaya di wilayah pesisir dan
mengharuskan siapa saja yang mengambil dan memanfaatkannya untuk melakukan
pembayaran.
Harga atau nilai sumberdaya di wilayah
pesisir yang masih ada di dalam bumi
atau di atas bumi dapat ditentukan; misalnya dengan konsep rente ekonomi.
Dengan demikian maka Pemerintah Daerah akan memiliki sumber dana tambahan untuk
pengelolaan lingkungan. Tampaknya sistem pungutan atau retribusi dalam
pengambilan sumberdaya di wilayah pesisir untuk pasir, batu karang, batu kapur, air dan sebagainya
telah diterapkan di Indonesia; tetapi penentuan nilainya masih dirasa belum
tepat dan masih terlalu murah, sehingga masih cenderung mendorong terjadinya
deplisi sumberdaya di wilayah pesisir.
5.
Dana Internasional
Negara-negara
maju menyadari bahwa konsep lingkungan di wilayah pesisir ini tidak mengenal batas, sehingga memburuknya
kondisi lingkungan di wilayah pesisir di suatu daerah atau suatu negara akan
mempunyai dampak yang negatif pula bagi negara-negara lain. turut menderita
karena asap tebal yang menutupi kota Singapura dan Kuala lumpur. Oleh karena
itu negara-negara maju telah menyisihkan sebagian dari anggaran belanjanya
untuk membentuk dana lingkungan global yang disebut dengan Global
Environmental Fund (GEF). GEF ini berkedudukan di Geneva. Di samping itu
banyak negara-negara maju yang bersedia membantu negara-negara sedang
berkembang untuk memperbaiki kondisi lingkungannya, seperti Norwegia, Perancis,
Jerman, Jepang dan Australia telah lama memberikan bantuan perbaikan dan
pengelolaan lingkungan dalam bentuk bantuan tenaga ahli (technical
assistance) maupun bekerja sama dalam pelaksanaan dan pembiayaannya.Bank Dunia
dan Bank Pembangunan Asia juga telah memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman
yang tidak sedikit dalam rangka perbaikan dan pengelolaan lingkungan di
Indonesia.
Strategi
Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle)
Ellis and Alison (2004) menyatakan bahwa,
dalam menerapkan prinsip kehati-hatian maka strategi yang harus ditempuh adalah
sebagai berikut :
1.
Perolehan
bukti Ilmiah
Yaitu
dengan mecari informasi-informasi yang akurat berkaitan dengan pencemaran
lingkungan perairan pesisir. Pencarian informasi tersebut dapat dilakukan
melalui kegiatan penelitian, riset-riset tertentu untuk mengetahui apakah
kondisi perairan pesisir tersebut benar-benar tercemar atau tidak. Apabila
tercemar maka perlu di cari tahu lagi kira-kira apa faktor penyebabnya, apakah
tumpahan minyak atau buangan limbah. Jika telah di ketahui faktor penyebabnya
seperti tumpahan minyak atau buangan limbah maka perlu diperoleh lagi informasi
kira-kira siapa yang melakukan.
2.
Mealakukan
risk assessment (Penilaian Resiko)
Yaitu
mealakukan analisis mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran perairanpesisir
tersebut, apakah tingkat pencemarannya berat atau ringan. Apabila sudah
diketahui tingat pencemarannya maka perlu lagi di cari tahu apakah melanggar ketentuan
peraturan dan kesepakatan yang berlaku atau tidak.
3.
Pembatasan
bahan pencemar
Yaitu
memberi batasan bagi individu atau perusahan-perusahan mengenaikegiatan - kegiatan
tertentu yang dapat menyebabkan pencemaran perairan pesisir berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
4.
Tindakan
Hukum
Tindakan
ini dilakukan apabila pelaku penyebab pencemaran perairan pesisir tersebut
tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Selain itu tindakan ini juga
dapat diberikan kepada para pelanggar atas ketentuan atau peraturan yang telah
di tetapkan oleh suatu daerah tertentu.
Referensi
Afiati,
N. 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang.
Ambrose
K. A. 2000. “Part II : Review of Key Substantive Agreements Panel
II D : Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) and Agreement on the
Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), Law and Policy in
International Business, Spring,Vol. 31.
Dahuri
R. 1996. Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor.
. 2001, Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Delinom R.M dan Lubis R.F. 2007. Sumber daya air di wilayah peisisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Jakarta: LIPI Press. Hal1-25.
Ellis
J., Alison F. G. 2004, “The Precautionary
Principle in International Law :
Lessons from Fuller’s Internal Morality,” MCGill Law Journal.
Idris I. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu di Indonesia. Prosiding Forum
Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-9.
Jeffrey
A. Mc Neely, 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati, Jakarta: Yayasan
Obot Indonesia.
Marong
A. B.M. 2003, “ From Rio to Johannesburg : Reflection
on the Role of International Legal Norms in Sustainable Development “, Georgetown
International Environmental Law Review, Fall.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta:
Pradnya Paramita. 322 hal.
Ratnaningsih,
Maria. 1996. “Determination of
Pollution Change and Its Impact
on the Textile Industry in Indonesia”, Master Thesis, Bangkok:
Thammasat University.
Satria, Arif 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor:
IPB Press. 176 hal.
Suparmoko,
M dan Maria R. Suparmoko, 2000. Ekonomi Lingkungan, Yogyakarta: BPFE.
Supriharyono. 2000,
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar