Kamis, 20 Maret 2014

KERUSAKAN WILAYAH PESISIR DAN UPAYA PENGENDALIANNYA


KERUSAKAN WILAYAH PESISIR DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

OLEH

ALUDIN AL AYUBI, S.Pi

Pendahuluan
Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun politikya. Delinom (2007) mendefinisikan, Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan lebar bervariasi.
Lingkungan pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena dapat meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Banyaknya kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat rentan terhadap kerusakan dan pengrusakan. Menurut Hinrichsen (1997) dalam Idris (2001), wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir sering mendapat tekanan manusia yang tinggi.
Kerusakan lingkungan pesisir saat ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam. Perilaku manusia saat ini dipengaruhi oleh etika antroposentrisme dimana cara pandang manusia hanya melihat dari sudut prinsip etika terhadap manusia saja, baik dari sisi kebutuhannya maupun kepentingannya yang lebih tinggi dan terkadang sangat khusus dibandingkan dengan makhluk lain. Makhluk selain manusia dan benda lainnya hanya dianggap sebagai alat peningkat kesejahteraan manusia atau yang dikenal dengan prinsip instrumentalistik (Susilo, 2008).

Deskripsi  Wilayah Pesisir

Sampai sekarang belum ada defenisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran Beatly (1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil (2003).
Dahuri (1996) mendefenisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Seacara fisiologi didefenisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil.
Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.
Dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, ke arah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana proses-proses oseanografis (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dsbnya) yang masih dapat dirasahkan pengaruhnya. Kedua, ke arah laut meliputi daerah-daerah dimana akibat prosesproses yang terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar dsbnya). Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relatif tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relatif rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Karakteristik yang demikian oleh Ghofar (2004), mengatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrient (nutrient trap). Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi pengrusakan lingkungan secara massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants trap).
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa berbagai sumberdaya hayati serta lingkungan di wilayah pesisir relatif lebih rentan terhadap kerusakan, dibandingkan dengan wilayah-wilayah atau ekosistem-ekosistem lainnya. Dari seluruh tipe ekosistem yang ada, biasanya ekosistem pesisir merupakan wilayah yang mendapatkan tekanan lingkungan yang paling berat Kay dan Alder (1999) dalam Ghofar (2004).

Potensi Sumberdaya Lingkungan Pesisir

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang sangat kaya (Clark dan Jhon, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.
Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri (1999), menyatakan bahwa potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok yakni:
a)        Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources).
b)        Sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources).
c)        Eenergi kelautan.
d)        Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services).
Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Ketersedian lahan pesisir merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk kegiatan perikanan. Demikian juga dengan wilayah perairan pantainya dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan budidaya terutama budidaya laut.
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (Ocean Thermal Energy Conservation), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.
Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Secara biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.        Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lainlain) di lahan atas (upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara bijaksana akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawsan pesisir dan laut.
2.        Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang sangat komplek antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
3.        Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
4.        Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir hanya digunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka akan lebih rentan, jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
5.        Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini, yang pada gilirannya dapat menimbulkan suatu tragedi bersama (open tragedy).
6.        Kawasan pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut terdapat hubungan dan interaksi yang saling mempengaruhi. Kerusakan yang terjadi pada satu habitat akan mempengaruhi kehidupan biota pada habitat lainnya, sehingga pengelolaan pada suatu habitat harus mempertimbangkan kelangsungan habitat lainnya.

Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir
Penggunaan lahan dalam arti ruang merupakan cerminan dari produk aktivitas ekonomi masyarakat serta interaksinya secara ruang dan waktu. Dinamika perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh faktor manusia seperti pertumbuhan penduduk (jumlah dan distribusinya), pertumbuhan ekonomi dan juga dipengaruhi oleh faktor fisik seperti topografi, jenis tanah, dan iklim (Skole dan Tucker dalam Rais dan Jacub, 2004).
Kay dkk., (1999) membagi penggunaan lahan pesisir menjadi beberapa fungsi yaitu :




1.        Eksploitasi Sumber daya (perikanan, hutan, gas dan minyak serta pertambangan).
Sumber daya pesisir yang dapat diperbaharui adalah eksploitasi primer dalam sektor perikanan komersial, penghidupan, dan rekreasi perikanan serta industry budidaya air. Sedangkan yang dapat diperbaharui adalah minyak dan pertambangan.
2.        Infrastruktur (transportasi, pelabuhan sungai, pelabuhan laut, pertahanan, dan program perlindungan garis pantai)
Pembangunan infrastruktur utama di pesisir meliputi : Pelabuhan sungai dan laut, fasilitas yang mendukung untuk operasional dari sistem transportasi yang bermacam-macam, jalan dan jembatan serta instalasi pertahanan.
3.        Pariwisata dan Rekreasi
Berkembangnya pariwisata merupakan sumber potensial bagi pendapatan negara karena potensi pariwisata banyak menarik turis untuk berkunjung sehingga dalam pengembangannya memerlukan faktor-faktor pariwisata yang secara langsung berdampak pada penggunaan lahan.
4.        Konservasi alam dan Perlindungan Sumber Daya Alam.
Hanya sedikit sumber daya alam di pesisir yang dikembangkan untuk melindungi kawasan pesisir tersebut (Konservasi area sedikit).
Dengan adanya fungsi-fungsi lahan pesisir diatas maka dapat memberikan peluang untuk kegiatan pembangunan.  Kegiatan pembangunan yang banyak dilakukan di kawasan pesisir menurut Dahuri (2001) adalah
a.         Pembangunan kawasan permukiman.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan penduduk akan fasilitas tempat tinggal. Namun pengembangan kawasan permukiman dilakukan hanya dengan mempertimbangkan kepentingan jangka pendek tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Dengan adanya pengembangan kawasan permukiman ini, dampak lain yang mungkin timbul adalah pencemaran perairan oleh limbah rumah tangga.
b.        Kegiatan Industri
Pembangunan kawasan industri di kawasan pesisir pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan atau memperkokoh program industrialisasi dalam rangka mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi nasional dari dominan primary based industri menuju secondary based industri dan tertiary based industri, menyediakan kawasan industri yang memiliki akses yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses produksi dan pembuangan limbah dan transportasi untuk produksi maupun bahan baku. Kawasan industri haruslah mempunyai luas yang cukup dan diletakan pada zone yang sesuai untuk menghindari lingkungan sekeliling menjadi buruk. Manajemen bertanggung jawab seterusnya untuk menjaga hubungan yang sesuai antara kawasan industri dengan masyarakat sekeliling dan sekaligus melindungi investasi yang telah dibuat (Hartshorn dan Truman 1980). Dengan makin majunya industrialisasi, maka pengaruh sampingnya (side effect) makin dirasakan; ada yang langsung, seperti pencemaran air, udara dan ada pula yang tak langsung, seperti banjir yang disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak berencana. Gejala ini mendorong pemikiran mengenai industrialisasi dalam konteks yang lebih luas yang mencakup juga pemeliharaan lingkungan (Djojodipuro, dan Marsudi,1992).
c.         Kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari
Hal ini sekalian bertujuan untuk menciptakan kawasan lindung bagi biota yang hidup pada ekosistem laut dalam cakupan pesisir.
d.        Konversi hutan.
Konservasi menjadi lahan pertambakan tanpa memperhatikan terganggunya fungsi ekologis hutan mangrove terhadap lingkungan fisik biologis.

Kerusakan Wilayah Pesisir
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan over-exploitation dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bisa menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya (Supriharyono, 2002).
Soetomo dan Sugiono (2005), Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan lag of policy sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan lag of policy terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan SDA dan lingkungan. Artinya bahwa, kebijakan tersebut membuat ‘blunder’ sehingga lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya.
Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Contoh menarik adalah kebijakan penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasi terlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisir yang bersifat dinamis (Suprijanto dan Iwan,2008).
Kedua adanya kegagalan masyarakat lag of community sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat lag of community terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk “bargaining position” masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasi eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi minyak yang tersembunyi, dan sebagainya (Suprijanto dan Iwan,2008).
Ketiga adanya kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan pemerintah (lag of government) terjadi akibat kurangnya kepedulian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait (stakeholders). Dalam hal ini, seringkali pemerintah melakukan penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada secara parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existence antar variabel lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya saja, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis (Suprijanto dan Iwan,2008).

Penyebab Kerusakan Lingkungan Pesisir

Menurut Diposaptono (2001),  kerusakan lingkungan pesisir dapat terjadi akibat dua faktor diantaranya yaitu:
1.        Kerusakan Karena Faktor Alam
Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam adalah gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino, pemanasan, predator, erosi. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami ataupun akibat campur tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Bencana alam berupa tsunami sering memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan kerusakan di daerah pesisir akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Masalah banjir di Indonesia lebih sering disebabkan oleh manusia.
Contoh-contoh penyebabnya, yaitu: pengembangan kota yang tidak mampu atau tidak sempat membangun sarana drainase, adanya bangunan-bangunan liar di sungai, sampah yang dibuang di sungai, penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu. Masalah erosi yang terjadi dapat pula disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya.
2.        Kerusakan Akibat Antropogenik
Perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh etika antroposentrisme. Antroposentrisme ini merupakan simbol kerakusan manusia yang tidak hanya bersifat individual tetapi dapat bersifat kolektif. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang kini marak dilakukan. Manusia tidak hanya memanfaatkan alam sebatas keperluannya tetapi kini manusia telah memanfaatkannya melebihi yang dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia mengeksploitasi alam dan lingkungan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir panjang terhadap dampak yang akan terjadi. Dampak akibat aktivitas tersebut dapat merusak sumber daya alam khususnya dalam hal ini ekosistem pesisir.
Aktivitas manusiapun dapat menimbulkan pencemaran yang mengancam ekosistem. Pencemaran-pencemaran tersebut dapat menimbulkan kerusakan fisik yang fatal di daerah pesisir. Menurut Suhardi (2001), pencemaran adalah sebarang penambahan pada udara, air dan tanah, atau makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya”. Selain itu Undang-Undang No.23 Tahun 1997 dalam Mukhtasor (2007), juga memberikan penjelasan bahwa pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan  oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.
Hal ini berarti, pencemaran tidak hanya dapat merusak tatanan ekosistem pesisir tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia serta dapat mematikan makhluk hidup yang memanfaatkan sumber daya pesisir yang telah tercemar tersebut. Berdasarkan sumbernya, kerusakan yang disebabkan oleh antropogenik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a)         Darat
Daerah-daerah pesisir yang memiliki pencemaran tinggi adalah daerah industri, daerah yang padat penduduk dan pertanian. UNEP (1995) dalam Idris (2001), mengatakan bahwa sumber utama pencemaran pesisir dan lautan berasal dari daratan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu dari kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian”. Kegiatan-kegiatan tersebut telah menyumbangkan limbah berupa limbah cair dan padat yang menimbulkan dampak serius pada daerah pesisir dan makhluk hidup sekitarnya.
Kegiatan rumah tangga seringkali menimbulkan limbah domestik berupa limbah cair dan padat. Limbah cair domestik dapat dibagi dibagi dalam dua kategori, yaitu: Limbah cair yang berasal dari air cucian seperti sabun, deterjen, minyak dan pestisida  Limbah cair yang berasal dari kakus seperti sabun, shampoo, tinja dan air seni.  Limbah cair mengandung bahan organik dan anorganik serta jutaan sel mikroba dan bakteri. Kandungan yang terdapat dalam limbah cair dapat mengancam kesehatan masyarakat yang menggunakan air yang telah tercemar sehingga menimbulkan penyakit.
Pabrik-pabrik yang berada di sekitar pesisir pun menimbulkan pencemaran berupa limbah industri. Limbah industri tersebut mengandung unsur yang sangat beracun, seperti basa, logam berat dan bahan organik yang beracun. Menurut Diposaptono (2001), pencemaran oleh industri dapat disebabkan oleh  beberapa faktor, yaitu: perencanaan daerah industri yang tidak teratur, perencanaan tata kota yang kurang baik, dan tidak tersedianya fasilitas pengolah limbah pada daerah industri.
Limbah padat berupa sampah kebanyakan berasal dari rumah tangga. Pembuangan sampah ke laut sering menjadi alternatif penduduk karena pembuangan sampah di daratan dinilai tidak efektif dan munculnya anggapan membuang sedikit sampah tidak akan berpengaruh bagi lautan yang luas. Kebiasaan yang buruk tersebut menimbulkan berbagai pengaruh terhadap kehidupan laut. Sampah-sampah yang mengapung akan terdampar di pantai dan mengurangi keindahan laut serta menghalangi penetrasi cahaya matahari. Sedangkan sampah yang berat akan tenggelam ke dasar laut dan berpengaruh terhadap komunitas bentos (Satria, 2009).

b)        Laut
Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem pesisir, yaitu: pengerukan sedimen dan pembuangan material hasil pengerukan, tumpahan minyak. Aktivitas tersebut menimbulkan pencemaran yang dapat merusak. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari pengerukan sedimen yang terus menerus dan pembuangan material hasil pengerukan. Material hasil kerukan biasanya dibuang beberapa kilometer dari pantai sehingga menimbulkan efek pencemaran bagi kehidupan perairan sekitar. Selain itu, juga dapat menimbulkan turbiditas yang mengancam bentik. Hal ini berpengaruh bagi kehidupan perairan karena kebanyakan bahan kerukan diambil dari daerah pelabuhan yang biasanya telah tercemar (Mukhtasor 2007).
Tumpahan minyak ke laut dapat berasal dari berbagai sumber yang diantaranya berasal dari tabrakan kapal tanker, atau dari proses yang disengaja seperti pencucian tangki balas. Peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia pun sering terjadi, misalnya dalam kurun waktu 1997-2001 pada. Tumpahan minyak tersebut merupakan sumber pencemaran yang sangat membahayakan karena dapat menurunkan kualitas air laut, baik karena efek langsung maupun efek jangka panjang. Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan laut berupa perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut. Selain itu, tumpahan minyak dapat berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya di sektor  perikanan dan budidaya (Mukhtasor 2007).

Penanggulangan Permasalahan Lingkungan Pesisir
Penanggulangan kerusakan pesisir dilakukan untuk menangani permasalahan yang terjadi di daerah pesisir. Menurut Diposaptono (2001), proses penaggulangan lingkungan pesisir dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya:
1.        Kegiatan Mitigasi
Kegiatan mitigasi dapat dilakukan untuk menangani permasalahan di daerah pesisir seperti penanggulangan pada kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam. Kegiatan penanggulangannya dengan menanam mangrove di wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana tsunami atau erosi. Penanaman mangrove dapat berfungsi sebagai penghadang gempuran tsunami atau ombak, sehingga energi gelombang dapat diredam dan akan mengurangi dampak negatif berupa korban jiwa dan harta benda.
2.        Kegiatan Preventif/Pencegahan
Kegiatan preventif/pencegahan adalah kegiatan yang berupa mencegah terjadinya kerusakan. Kegiatan ini misalnya penerapan AMDAL yang berupaya mencegah kerusakan pesisir. Pada masalah limbah domestik dapat dilakukan pengolahan sampah dan Gerakan Bersih Pantai dan Laut sedangkan limbah pemanfaatan ikan dapat diolah menjadi pakan ikan, terasi dan lain-lain.
3.        Kegiatan Pemulihan
Kegiatan pemulihan adalah kegiatan yang berupaya memulihkan keadaan yang telah mengalami kerusakan. Menurut Diposaptono (2001), kegiatan pemulihan dapat berupa restorasi, rehabilitasi maupun rekonstruksi. Berdasarkan hasil penelitian Suhardi (2001), pendekatan sedimen sel dapat diterapkan di Indonesia dalam menangani masalah erosi (tipe pantai terbuka) dan akresi (tipe pantai terlindung. Sedangkan pada kasus tumpahan minyak dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: metode fisika/mekanis (absorben, dan skimmer, metode kimia (penggunaan dispersan), metode biologi (bioremediation), dan dengan pembakaran.

Pengelolaan Sumberdaya di Kawasan Pesisir
Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah ekosistem untuk memperoleh manfaat maksimal, dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut (Afiati, 1999). Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggung jawab terutama perikanan tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di wilayah perairan Indonesia, bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan bahwa apabila sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya, sumberdaya tersebut akan dapat mengahasilkan produksi maksimum lestari sekitar 6,4 juta ton pertahun.
Selain itu masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea). Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan menurun. Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam.
Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia (Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan Indonesia, baik secara legal maupun ilegal.
Pengelolaan Sumberdaya alam pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2002).
Dalam pengelolaan lingkungan sumberdaya alam pesisir tidaklah bersifat serta merta atau latah, namun kita perlu mengkaji secara mendalam isu dan permasalahan mengenai sumberdaya yang hendak dilakukan pengelolaan. Penting atau tidaknya sumberdaya alam yang ada, potensi dan komponen sumberdaya mana yang perlu dilakukan pengelolaan dan apakah terdapat potensi dampak perusakan lingkungan, serta untung atau tidaknya sumberdaya tersebut bagi masyarakat merupakan pertimbangan penting dalam pengelolaan.
Pengelolaan sumberdaya alam yang beranekaragam, baik di daratan maupun di lautan perlu dilakukan secara terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan berkelanjutan (Rais, 1997). Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dilakukan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan dan daya dukung lingkungan yang tersedia. Secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan (Anggoro, 2004).
Menurut Supriharyono (2000), beberapa pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya alam kawasan pesisir yakni meliputi:
a)        Pertimbangan ekonomis
Pertimbangan ekonomis menyangkut penting tidaknya untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, penghasil barang-barang yang dapat dipasarkan, merupakan aset lokal, nasional atau internasional serta merupakan aset pariwisata yang dapat mengahasil uang selain berupa barang
b)        Pertimbangan dari aspek lingkungan
Pertimbangan lingkungan menyangkut stabilitas fisik pantai, lingkungan masyarakat yang unik, penyediaan stok hewan dan tumbuhan termasuk yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, pelestarian plasma nutfah, estetika dan indentitas budaya, serta apakah terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh sedimentasi, konstruksi, pertanian, penebangan, penambangan, penangkapan berlebihan (overfishing), yutrofikasi karena buangan limbah yang mengandung nutrien, dan kontaminasi oleh berbagai macam limbah.
c)        Pertimbangan sosial budaya.
Pertimbangan sosial budaya meliputi pengakuan tradisi, nilai sosial budaya, mempertahankan tradisi generasi yang akan datang dan sasaran keagamaan.

Referensi

Afiati, N. 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang.

Anggoro, S. 2004, Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, MSDP, UNDIP, Semarang.

Clark, Jhon R. 1996. Coastal Ecosystems Ecological Considerations for Management of the Coastal Zone, Department the Conservation Foundation 1717 Masschu setts Avenue, N. W. Washington, D.C.

Dahuri R. 1996. Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor.

. 1999, Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat, LiSPI berkerjasama dengan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, Jakarta.

. 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Delinom R.M dan  Lubis R.F. 2007. Sumber daya air di wilayah peisisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Hal1-25.

Diposaptono S. 2001. Riset Teknologi Pesisir Kini dan Masa Mendatang. Prosiding Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo.      Hal1-20.

Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Perikanan dan Kelautahn, 2003, Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu, Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.

Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Ghofar A. 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.

Hartshorn, Truman A. 1980. Interpreting The City, An Urban Geography. Jhon and Sons.

Idris I. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu di Indonesia. Prosiding Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo.  Hal1-9.

Kay, Robert and Jacqueline Alder. 1999. Coastal Planing and Management. London : Penerbit E & FN Spon Press.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta: Pradnya Paramita. 322hal.

Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Rais, Jacub. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Jakarta : Penerbit PT Pradnya Paramita.

Satria, Arif 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. 176hal.

Soetomo, Sugiono. 2005. Sistem Pembangunan Hunian Masyarakat di Wilayah Pesisir. Workshop dan Pelatihan Pembangunan Wilayah Pesisir Berkelanjutan di Kabupaten Aceh besar.

Suhardi I. 2001. Pengkajian dan Penerapan Sedimen Sel di Indonesia Serta Aplikasinya Dalam Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-7.

Supriharyono. 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan, Jakarta.

. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Suprijanto, Iwan 2008. Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. Proceeding Karakteristik Spesifik, Permasalahan Dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi.
Susilo RK. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 214hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar