KERUSAKAN WILAYAH PESISIR DAN UPAYA PENGENDALIANNYA
OLEH
ALUDIN AL AYUBI, S.Pi
Pendahuluan
Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis,
diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan
Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang
kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata bahari, budi daya tambak,
pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh potensi ekonomi yang bernilai
tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik bagi seluruh pihak
untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun politikya. Delinom
(2007) mendefinisikan, Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang
berdampingan dengan laut, dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi
secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir
adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan lebar
bervariasi.
Lingkungan pesisir memiliki
produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena dapat meningkatkan devisa,
lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Banyaknya kegiatan yang
dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat rentan terhadap
kerusakan dan pengrusakan. Menurut Hinrichsen (1997) dalam Idris (2001),
wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan
industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir sering mendapat tekanan
manusia yang tinggi.
Kerusakan lingkungan pesisir saat
ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam. Perilaku
manusia saat ini dipengaruhi oleh etika antroposentrisme dimana cara pandang
manusia hanya melihat dari sudut prinsip etika terhadap manusia saja, baik dari
sisi kebutuhannya maupun kepentingannya yang lebih tinggi dan terkadang sangat
khusus dibandingkan dengan makhluk lain. Makhluk selain manusia dan benda
lainnya hanya dianggap sebagai alat peningkat kesejahteraan manusia atau yang
dikenal dengan prinsip instrumentalistik (Susilo, 2008).
Deskripsi Wilayah Pesisir
Sampai sekarang belum ada defenisi
wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia
bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah
darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi
oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin.
Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran Beatly (1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan
Pulau Kecil (2003).
Dahuri (1996) mendefenisikan wilayah
pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas
ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan
batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu
negara. Kawasan pesisir
merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Seacara fisiologi
didefenisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang
masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh
kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga
pasir yang bersifat lepas dan
kadang materinya berupa kerikil.
Ruang kawasan pesisir merupakan ruang
wilayah diantara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan.
Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan
termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis terendah. Ruang lautan adalah
ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai sisi laut pada
garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.
Dalam cakupan horizontal, wilayah
pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, ke arah darat wilayah ini
mencakup daerah-daerah dimana proses-proses oseanografis (angin laut,
pasang-surut, pengaruh air laut dsbnya) yang masih dapat dirasahkan pengaruhnya.
Kedua, ke arah laut meliputi daerah-daerah dimana akibat prosesproses yang
terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar dsbnya). Wilayah
perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan
yang relatif tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut
yang relatif rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Karakteristik yang
demikian oleh Ghofar (2004), mengatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering
disebut sebagai wilayah jebakan nutrient (nutrient trap). Akan tetapi,
jika wilayah ini terjadi pengrusakan lingkungan secara massif karena pencemaran
maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants
trap).
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa
berbagai sumberdaya hayati serta lingkungan di wilayah pesisir relatif lebih
rentan terhadap kerusakan, dibandingkan dengan wilayah-wilayah atau
ekosistem-ekosistem lainnya. Dari seluruh tipe ekosistem yang ada, biasanya
ekosistem pesisir merupakan wilayah yang mendapatkan tekanan lingkungan yang
paling berat Kay dan Alder (1999) dalam
Ghofar (2004).
Potensi Sumberdaya Lingkungan Pesisir
Wilayah pesisir memiliki arti strategis
karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat
dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang
sangat kaya (Clark dan Jhon, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya tarik
tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong
berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.
Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya
alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam
wilayah pesisir. Dahuri (1999), menyatakan bahwa potensi sumberdaya pesisir
secara umum dibagi atas empat kelompok yakni:
a)
Sumberdaya yang dapat pulih (renewable
resources).
b)
Sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable
resources).
c)
Eenergi kelautan.
d)
Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental
services).
Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari
berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang
termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture).
Ketersedian lahan pesisir merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan
untuk kegiatan perikanan. Demikian juga dengan wilayah perairan pantainya dapat
dikembangkan untuk berbagai kegiatan budidaya terutama budidaya laut.
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi
mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri
dari OTEC (Ocean Thermal Energy Conservation), pasang surut, gelombang
dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah
pariwisata dan perhubungan laut.
Wilayah pesisir dan laut sebagai
ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Keunikan
wilayah ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk
dikelola secara terpadu dan bijaksana. Secara biofisik wilayah pesisir memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1.
Secara
empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar
ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan
atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu
eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan
pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lainlain) di lahan atas (upland)
suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara bijaksana akan merusak
tatanan dan fungsi ekologis kawsan pesisir dan laut.
2.
Dalam
suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
Terdapat keterkaitan langsung yang sangat komplek antara proses-proses dan
fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
3.
Dalam
suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok
masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan kesenangan (preference)
bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput
laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan
sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah
kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah mentradisi menekuni
suatu bidang pekerjaan.
4.
Baik
secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir
secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan
internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu
hamparan pesisir hanya digunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka
akan lebih rentan, jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
5.
Kawasan
pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property
resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access).
Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan
keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over eksploitasi sumberdaya
alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan suatu tragedi bersama (open tragedy).
6.
Kawasan
pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove, padang lamun dan
terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut terdapat hubungan dan
interaksi yang saling mempengaruhi. Kerusakan yang terjadi pada satu habitat akan
mempengaruhi kehidupan biota pada habitat lainnya, sehingga pengelolaan pada
suatu habitat harus mempertimbangkan kelangsungan habitat lainnya.
Penggunaan
Lahan Kawasan Pesisir
Penggunaan lahan dalam arti ruang
merupakan cerminan dari produk aktivitas ekonomi masyarakat serta interaksinya
secara ruang dan waktu. Dinamika perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi
oleh faktor manusia seperti pertumbuhan penduduk (jumlah dan distribusinya),
pertumbuhan ekonomi dan juga dipengaruhi oleh faktor fisik seperti topografi,
jenis tanah, dan iklim (Skole dan Tucker dalam
Rais dan Jacub, 2004).
Kay dkk., (1999) membagi penggunaan
lahan pesisir menjadi beberapa fungsi yaitu :
1.
Eksploitasi
Sumber daya (perikanan, hutan, gas dan minyak serta pertambangan).
Sumber daya pesisir yang dapat
diperbaharui adalah eksploitasi primer dalam sektor perikanan komersial,
penghidupan, dan rekreasi perikanan serta industry budidaya air. Sedangkan yang
dapat diperbaharui adalah minyak dan pertambangan.
2.
Infrastruktur
(transportasi, pelabuhan sungai, pelabuhan laut, pertahanan, dan program
perlindungan garis pantai)
Pembangunan infrastruktur utama di
pesisir meliputi : Pelabuhan sungai dan laut, fasilitas yang mendukung untuk
operasional dari sistem transportasi yang bermacam-macam, jalan dan jembatan
serta instalasi pertahanan.
3.
Pariwisata
dan Rekreasi
Berkembangnya pariwisata merupakan
sumber potensial bagi pendapatan negara karena potensi pariwisata banyak
menarik turis untuk berkunjung sehingga dalam pengembangannya memerlukan
faktor-faktor pariwisata yang secara langsung berdampak pada penggunaan lahan.
4.
Konservasi
alam dan Perlindungan Sumber Daya Alam.
Hanya sedikit sumber daya alam di
pesisir yang dikembangkan untuk melindungi kawasan pesisir tersebut (Konservasi
area sedikit).
Dengan adanya fungsi-fungsi lahan
pesisir diatas maka dapat memberikan peluang untuk kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang banyak dilakukan di
kawasan pesisir menurut Dahuri (2001) adalah
a.
Pembangunan
kawasan permukiman.
Sejalan dengan semakin meningkatnya
kebutuhan penduduk akan fasilitas tempat tinggal. Namun pengembangan kawasan
permukiman dilakukan hanya dengan mempertimbangkan kepentingan jangka pendek
tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Dengan adanya
pengembangan kawasan permukiman ini, dampak lain yang mungkin timbul adalah pencemaran
perairan oleh limbah rumah tangga.
b.
Kegiatan
Industri
Pembangunan kawasan industri di kawasan
pesisir pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan atau memperkokoh program
industrialisasi dalam rangka mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi
nasional dari dominan primary based industri menuju secondary based industri
dan tertiary based industri, menyediakan kawasan industri yang memiliki
akses yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses produksi dan pembuangan
limbah dan transportasi untuk produksi maupun bahan baku. Kawasan industri
haruslah mempunyai luas yang cukup dan diletakan pada zone yang sesuai untuk
menghindari lingkungan sekeliling menjadi buruk. Manajemen bertanggung jawab
seterusnya untuk menjaga hubungan yang sesuai antara kawasan industri dengan
masyarakat sekeliling dan sekaligus melindungi investasi yang telah dibuat
(Hartshorn dan Truman 1980). Dengan makin majunya industrialisasi, maka
pengaruh sampingnya (side effect) makin dirasakan; ada yang langsung,
seperti pencemaran air, udara dan ada pula yang tak langsung, seperti banjir
yang disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak berencana. Gejala ini
mendorong pemikiran mengenai industrialisasi dalam konteks yang lebih luas yang
mencakup juga pemeliharaan lingkungan (Djojodipuro, dan Marsudi,1992).
c.
Kegiatan
rekreasi dan pariwisata bahari
Hal ini sekalian bertujuan untuk
menciptakan kawasan lindung bagi biota yang hidup pada ekosistem laut dalam
cakupan pesisir.
d.
Konversi
hutan.
Konservasi menjadi lahan pertambakan
tanpa memperhatikan terganggunya fungsi ekologis hutan mangrove terhadap
lingkungan fisik biologis.
Kerusakan Wilayah Pesisir
Dewasa ini sumberdaya alam dan
lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan
over-exploitation dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati secara
ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bisa menimbulkan
ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan,
langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya (Supriharyono, 2002).
Soetomo dan Sugiono (2005), Kegagalan
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan
dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Pertama akibat adanya
kegagalan kebijakan lag of policy sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum
yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan
kebijakan lag of policy terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi
para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang
berkaitan erat dengan keberadaan SDA dan lingkungan. Artinya bahwa, kebijakan
tersebut membuat ‘blunder’ sehingga lingkungan hanya menjadi variabel minor.
Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas
ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety,
dan sebagainya.
Selain itu, proses penciptaan dan
penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim
sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai
komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Contoh menarik adalah kebijakan
penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu
menciptakan peluang investasi terlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain
telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung
oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak
langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi
gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisir yang bersifat
dinamis (Suprijanto dan Iwan,2008).
Kedua adanya kegagalan masyarakat lag of
community sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya
beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan
masyarakat lag of community terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk
dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya kapasitas
dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan.
Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk “bargaining position”
masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya
saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang
diakibatkan oleh kurang perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasi
eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya
pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti
akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses
ekstrasi minyak yang tersembunyi, dan sebagainya (Suprijanto dan Iwan,2008).
Ketiga adanya kegagalan pemerintah (lag
of government) sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang
diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan
lingkungan. Kegagalan pemerintah (lag of government) terjadi akibat kurangnya
kepedulian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan
yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait
(stakeholders). Dalam hal ini, seringkali pemerintah melakukan penanggulangan
permasalahan lingkungan yang ada secara parsial dan kurang terkoordinasi.
Dampaknya, proses penciptaan co-existence antar variabel lingkungan yang menuju
keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya
saja, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di
beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat
menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain
yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain
karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis (Suprijanto
dan Iwan,2008).
Penyebab Kerusakan Lingkungan Pesisir
Menurut Diposaptono (2001),
kerusakan lingkungan pesisir dapat terjadi akibat dua faktor diantaranya
yaitu:
1.
Kerusakan
Karena Faktor Alam
Kerusakan yang diakibatkan oleh
faktor alam adalah gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino, pemanasan, predator,
erosi. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami
ataupun akibat campur tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Bencana
alam berupa tsunami sering memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan
kerusakan di daerah pesisir akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh suatu
gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Masalah banjir di Indonesia
lebih sering disebabkan oleh manusia.
Contoh-contoh penyebabnya, yaitu:
pengembangan kota yang tidak mampu atau tidak sempat membangun sarana drainase,
adanya bangunan-bangunan liar di sungai, sampah yang dibuang di sungai,
penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu. Masalah erosi
yang terjadi dapat pula disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia ataupun
kombinasi keduanya.
2.
Kerusakan
Akibat Antropogenik
Perilaku manusia banyak dipengaruhi
oleh etika antroposentrisme. Antroposentrisme ini merupakan simbol kerakusan
manusia yang tidak hanya bersifat individual tetapi dapat bersifat kolektif.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang
kini marak dilakukan. Manusia tidak hanya memanfaatkan alam sebatas
keperluannya tetapi kini manusia telah memanfaatkannya melebihi yang
dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia mengeksploitasi alam dan lingkungan
untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa berpikir panjang terhadap
dampak yang akan terjadi. Dampak akibat aktivitas tersebut dapat merusak sumber
daya alam khususnya dalam hal ini ekosistem pesisir.
Aktivitas manusiapun dapat
menimbulkan pencemaran yang mengancam ekosistem. Pencemaran-pencemaran tersebut
dapat menimbulkan kerusakan fisik yang fatal di daerah pesisir. Menurut Suhardi
(2001), pencemaran adalah sebarang penambahan pada udara, air dan tanah, atau
makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau
organisme hidup lainnya”. Selain itu Undang-Undang No.23 Tahun 1997 dalam
Mukhtasor (2007), juga memberikan penjelasan bahwa pencemaran adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi
sesuai peruntukannya.
Hal ini berarti, pencemaran tidak
hanya dapat merusak tatanan ekosistem pesisir tetapi juga dapat membahayakan
kesehatan manusia serta dapat mematikan makhluk hidup yang memanfaatkan sumber
daya pesisir yang telah tercemar tersebut. Berdasarkan sumbernya, kerusakan
yang disebabkan oleh antropogenik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a)
Darat
Daerah-daerah pesisir yang memiliki
pencemaran tinggi adalah daerah industri, daerah yang padat penduduk dan
pertanian. UNEP (1995) dalam Idris (2001), mengatakan bahwa sumber utama
pencemaran pesisir dan lautan berasal dari daratan yang terdiri dari tiga
jenis, yaitu dari kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan
pertanian”. Kegiatan-kegiatan tersebut telah menyumbangkan limbah berupa limbah
cair dan padat yang menimbulkan dampak serius pada daerah pesisir dan makhluk
hidup sekitarnya.
Kegiatan rumah tangga seringkali
menimbulkan limbah domestik berupa limbah cair dan padat. Limbah cair domestik
dapat dibagi dibagi dalam dua kategori, yaitu: Limbah cair yang berasal dari
air cucian seperti sabun, deterjen, minyak dan pestisida Limbah cair yang berasal dari kakus seperti
sabun, shampoo, tinja dan air seni. Limbah
cair mengandung bahan organik dan anorganik serta jutaan sel mikroba dan
bakteri. Kandungan yang terdapat dalam limbah cair dapat mengancam kesehatan
masyarakat yang menggunakan air yang telah tercemar sehingga menimbulkan
penyakit.
Pabrik-pabrik yang berada di sekitar
pesisir pun menimbulkan pencemaran berupa limbah industri. Limbah industri
tersebut mengandung unsur yang sangat beracun, seperti basa, logam berat dan
bahan organik yang beracun. Menurut Diposaptono (2001), pencemaran oleh
industri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perencanaan daerah
industri yang tidak teratur, perencanaan tata kota yang kurang baik, dan tidak
tersedianya fasilitas pengolah limbah pada daerah industri.
Limbah padat berupa sampah
kebanyakan berasal dari rumah tangga. Pembuangan sampah ke laut sering menjadi
alternatif penduduk karena pembuangan sampah di daratan dinilai tidak efektif
dan munculnya anggapan membuang sedikit sampah tidak akan berpengaruh bagi
lautan yang luas. Kebiasaan yang buruk tersebut menimbulkan berbagai pengaruh
terhadap kehidupan laut. Sampah-sampah yang mengapung akan terdampar di pantai
dan mengurangi keindahan laut serta menghalangi penetrasi cahaya matahari.
Sedangkan sampah yang berat akan tenggelam ke dasar laut dan berpengaruh
terhadap komunitas bentos (Satria, 2009).
b)
Laut
Aktivitas manusia yang dapat merusak
ekosistem pesisir, yaitu: pengerukan sedimen dan pembuangan material hasil
pengerukan, tumpahan minyak. Aktivitas tersebut menimbulkan pencemaran yang
dapat merusak. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari pengerukan
sedimen yang terus menerus dan pembuangan material hasil pengerukan. Material
hasil kerukan biasanya dibuang beberapa kilometer dari pantai sehingga
menimbulkan efek pencemaran bagi kehidupan perairan sekitar. Selain itu, juga
dapat menimbulkan turbiditas yang mengancam
bentik. Hal ini berpengaruh bagi kehidupan perairan karena kebanyakan bahan
kerukan diambil dari daerah pelabuhan yang biasanya telah tercemar (Mukhtasor
2007).
Tumpahan minyak ke laut dapat berasal dari berbagai sumber
yang diantaranya berasal dari tabrakan kapal tanker, atau dari proses yang
disengaja seperti pencucian tangki balas. Peristiwa tumpahan minyak di perairan
Indonesia pun sering terjadi, misalnya dalam kurun waktu 1997-2001 pada.
Tumpahan minyak tersebut merupakan sumber pencemaran yang sangat membahayakan
karena dapat menurunkan kualitas air laut, baik karena efek langsung maupun
efek jangka panjang. Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada lingkungan laut
berupa perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi
komunitas laut. Selain itu, tumpahan minyak dapat berdampak buruk terhadap
kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya di sektor perikanan dan budidaya (Mukhtasor 2007).
Penanggulangan Permasalahan Lingkungan Pesisir
Penanggulangan kerusakan pesisir
dilakukan untuk menangani permasalahan yang terjadi di daerah pesisir. Menurut Diposaptono
(2001), proses penaggulangan lingkungan pesisir dapat dilakukan melalui
beberapa cara, diantaranya:
1.
Kegiatan
Mitigasi
Kegiatan mitigasi dapat dilakukan untuk menangani
permasalahan di daerah pesisir seperti penanggulangan pada kerusakan yang diakibatkan
oleh faktor alam. Kegiatan penanggulangannya dengan menanam mangrove di wilayah
pesisir yang rentan terhadap bencana tsunami atau erosi. Penanaman mangrove
dapat berfungsi sebagai penghadang gempuran tsunami atau ombak, sehingga energi
gelombang dapat diredam dan akan mengurangi dampak negatif berupa korban jiwa
dan harta benda.
2.
Kegiatan
Preventif/Pencegahan
Kegiatan preventif/pencegahan adalah kegiatan yang berupa
mencegah terjadinya kerusakan. Kegiatan ini misalnya penerapan AMDAL yang
berupaya mencegah kerusakan pesisir. Pada masalah limbah domestik dapat
dilakukan pengolahan sampah dan Gerakan Bersih Pantai dan Laut sedangkan limbah
pemanfaatan ikan dapat diolah menjadi pakan ikan, terasi dan lain-lain.
3.
Kegiatan
Pemulihan
Kegiatan pemulihan adalah kegiatan yang berupaya memulihkan
keadaan yang telah mengalami kerusakan. Menurut Diposaptono (2001), kegiatan
pemulihan dapat berupa restorasi, rehabilitasi maupun rekonstruksi. Berdasarkan
hasil penelitian Suhardi (2001), pendekatan sedimen sel dapat diterapkan di
Indonesia dalam menangani masalah erosi (tipe pantai terbuka) dan akresi (tipe
pantai terlindung. Sedangkan pada kasus tumpahan minyak dapat dilakukan dengan
beberapa metode, yaitu: metode fisika/mekanis (absorben, dan skimmer,
metode kimia (penggunaan dispersan), metode biologi (bioremediation),
dan dengan pembakaran.
Pengelolaan Sumberdaya di Kawasan Pesisir
Pengelolaan
sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah ekosistem untuk memperoleh
manfaat maksimal, dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan menjamin
kelestarian sumberdaya tersebut (Afiati, 1999). Pengelolaan perikanan yang baik
dan bertanggung jawab terutama perikanan tangkap haruslah benar-benar
memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di wilayah perairan Indonesia,
bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan bahwa apabila sumberdaya
ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan secara benar
dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya, sumberdaya tersebut
akan dapat mengahasilkan produksi maksimum lestari sekitar 6,4 juta ton
pertahun.
Selain
itu masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya
ikan di laut lepas (high sea). Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut
dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam
dan produksinya akan menurun. Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa
daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah
dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam.
Beberapa
spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari
perairan Indonesia (Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman
ini diperkirakan akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah
penangkapan armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan
Indonesia, baik secara legal maupun ilegal.
Pengelolaan
Sumberdaya alam pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan
tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya
alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan
(Supriharyono, 2002).
Dalam
pengelolaan lingkungan sumberdaya alam pesisir tidaklah bersifat serta merta
atau latah, namun kita perlu mengkaji secara mendalam isu dan permasalahan mengenai
sumberdaya yang hendak dilakukan pengelolaan. Penting atau tidaknya sumberdaya
alam yang ada, potensi dan komponen sumberdaya mana yang perlu dilakukan pengelolaan
dan apakah terdapat potensi dampak perusakan lingkungan, serta untung atau tidaknya
sumberdaya tersebut bagi masyarakat merupakan pertimbangan penting dalam pengelolaan.
Pengelolaan
sumberdaya alam yang beranekaragam, baik di daratan maupun di lautan perlu
dilakukan secara terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam
pola pembangunan berkelanjutan (Rais, 1997). Pengelolaan sumberdaya alam
pesisir dilakukan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata
lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan dan daya
dukung lingkungan yang tersedia. Secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan
lingkungan hidupnya harus mampu menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna
mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif.
Keberlanjutan fungsi ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta
lingkungan hidup ikan (Anggoro, 2004).
Menurut
Supriharyono (2000), beberapa pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya alam
kawasan pesisir yakni meliputi:
a)
Pertimbangan
ekonomis
Pertimbangan
ekonomis menyangkut penting tidaknya untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari,
penghasil barang-barang yang dapat dipasarkan, merupakan aset lokal, nasional
atau internasional serta merupakan aset pariwisata yang dapat mengahasil uang selain
berupa barang
b)
Pertimbangan
dari aspek lingkungan
Pertimbangan
lingkungan menyangkut stabilitas fisik pantai, lingkungan masyarakat yang unik,
penyediaan stok hewan dan tumbuhan termasuk yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan,
pelestarian plasma nutfah, estetika dan indentitas budaya, serta apakah terjadi
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh sedimentasi, konstruksi, pertanian,
penebangan, penambangan, penangkapan berlebihan (overfishing), yutrofikasi
karena buangan limbah yang mengandung nutrien, dan kontaminasi oleh berbagai
macam limbah.
c)
Pertimbangan
sosial budaya.
Pertimbangan
sosial budaya meliputi pengakuan tradisi, nilai sosial budaya, mempertahankan tradisi
generasi yang akan datang dan sasaran keagamaan.
Referensi
Afiati,
N. 1999. Aspek Hayati Teknik
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir, Bapedalda, Semarang.
Anggoro,
S. 2004, Pengelolaan Kawasan
Konservasi Laut Daerah, MSDP, UNDIP, Semarang.
Clark,
Jhon R. 1996. Coastal Ecosystems Ecological Considerations for Management of
the Coastal Zone, Department the Conservation Foundation 1717 Masschu setts
Avenue, N. W. Washington, D.C.
Dahuri
R. 1996. Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor.
. 1999, Pendayagunaan Sumberdaya
Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat, LiSPI berkerjasama dengan Ditjen
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, Jakarta.
. 2001, Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Delinom R.M dan Lubis R.F. 2007. Sumber daya air di wilayah peisisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Jakarta: LIPI Press. Hal1-25.
Diposaptono S. 2001. Riset Teknologi
Pesisir Kini dan Masa Mendatang. Prosiding Forum Teknologi Konservasi dan
Rehabilitasi Pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-20.
Direktorat
Jendral Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Perikanan dan Kelautahn,
2003, Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu,
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.
Djojodipuro,
Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Ghofar
A. 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan,
Cipayung-Bogor.
Hartshorn,
Truman A. 1980. Interpreting The City, An Urban Geography. Jhon and
Sons.
Idris I. 2001. Kebijakan Pengelolaan
Pesisir Terpadu di Indonesia. Prosiding Forum Teknologi Konservasi dan
Rehabilitasi Pesisir. Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-9.
Kay,
Robert and Jacqueline Alder. 1999. Coastal Planing and Management.
London : Penerbit E & FN Spon Press.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta:
Pradnya Paramita. 322hal.
Purwanto,
2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan
Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Rais,
Jacub. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Jakarta : Penerbit PT Pradnya
Paramita.
Satria, Arif 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor:
IPB Press. 176hal.
Soetomo,
Sugiono. 2005. Sistem Pembangunan
Hunian Masyarakat di Wilayah
Pesisir. Workshop dan Pelatihan Pembangunan
Wilayah Pesisir Berkelanjutan di Kabupaten Aceh besar.
Suhardi I. 2001. Pengkajian dan Penerapan
Sedimen Sel di Indonesia Serta Aplikasinya Dalam Konservasi dan Rehabilitasi
Pesisir. Prosiding forum teknologi konservasi dan rehabilitasi pesisir.
Jakarta: Graha Sucofindo. Hal1-7.
Supriharyono. 2000,
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan, Jakarta.
. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Suprijanto,
Iwan 2008. Studi Dampak Timbal Balik
Antar Pembangunan dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. Proceeding
Karakteristik Spesifik, Permasalahan Dan Potensi
Pengembangan Kawasan Kota Tepi.
Susilo RK. 2008. Sosiologi Lingkungan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 214hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar